Kata
Pengantar
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kepada Allah SWT.
yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang “Etika
Sebagai Filsafah ”ini.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu
tentang Etika sebagai filsafah yang kami sajikan berdasarkan referensi dari
berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.
Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan.
Dalam penyelesaian karya tulis ini penulis banyak
mendapat bimbingan, asuhan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu
perkenankanlah penyususn untuk mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada bu(...) .
yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih
luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Penyusun mohon untuk saran dan kritik yang membangun .
Tuban, Maret 2012
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Setiap masyarakat mengenal nilai-nilai dan
norma etis. Dalam masyarakat yang homogen dan tertutup (masyarakat
tradisional), norma itu praktis tidak pernah dipersoalkan. Dalam keadaan
seperti itu secara otomatis orang menerima nilai dan norma yang berlaku. Individu-individu
dalam masyarakat itu tidak berpikir lebih jauh.Tapi nilai-nilai dan norma-norma
etis yang dalam masyarakat tradisional umumnya tinggal implicit saja, setiap
saat bisa menjadi eksplisit. Terutama bila nilai-nilai dan norma-norma itu ditantang
atau dilanggar karena perkembangan baru, kita melihat bahwa nilai atau norma
yang tadinya terpendam dalam hidup rutin, dengan agak mendadak tampil
dipermukaan.
Bila seorang muda menjadi mahasiswa dan
arena itu untuk pertama kali dalam hidupnya keluar dari naungan keluarga serta
ketertutupan daerahnya, ia dapat merasakan perbedaan itu. Perbedaan bisa
dirasakan lebih tajam lagi, bila perpindahan itu bukan saja dari satu daerah ke
daerah lain tapi sekaligus juga dari daerah pedesaan ke kota besar. Apalagi,
bila seorang muda disekolahkan ke luar negeri.Bisa sampai terkena cultural
shock.
BAB 2
ISI
2.
2.1. Pengertian Etika
Secara etimologis ‘ethos’(yunani) = adapt
kebiasaan; cara bertindak.Sebagai ilmu : Refleksi kritis, metodis dan
sistematis tentang tingkah laku manusia.
Sifat fisiologisnya : Melampaui data daktual.
Bertanya tentang yang harus dan tidak boleh, yang baik dan yang buruk.
Etika dibagi menjadi 2, yakni:
2.1.2.
Etika normative
·
Etika umum : prinsip mral dasar
·
Etika khusus : etika terapan
2.2.Etika Sebagai Falsafah
Pada dasarnya,
etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi serta metode pada
tugas manusia dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau menerjemahkan berbagai nilai itu
ke dalam norma-norma dan menerapkannya pada situasi kehidupan konkret.
Sebagai ilmu,
etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, ia mencari keterangan (benar)
yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran
baik-buruk bagi tingkah laku manusia.
Dalam arti
etis, baik dan buruk ini memainkan peranan dalam hidup setiap manusia. Tak
hanya sebatas kini, tapi juga di masa lampau. Bertens (1993:12), misalnya,
menyebutkan, ilmu-ilmu seperti antropologi budaya dan sejarah memberitahukan
kita bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang
baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Akan tetapi,
lanjut Bertens, segera perlu ditambah bahwa tidak semua bangsa dan tidak semua
zaman mempunyai pengertian yang sama tentang baik dan buruk. Ada bangsa atau
kelompok sosial yang mengenal "tabu", sesuatu yang dilarang keras
(misalnya, membunuh binatang tertentu), sedangkan pada bangsa atau kelompok
sosial lainnya perbuatan-perbuatan yang sama tidak terkena larangan apa pun.
Dan sebaliknya, ada hal-hal yang di zaman dulu sering dipraktekkan dan dianggap
biasa saja, tapi akan ditolak sebagai tidak etis oleh hampir semua bangsa
beradab sekarang ini. Sebagai contoh dapat disebut: kolonialisme, perbudakan,
dan diskriminasi terhadap wanita. Jadi, semua bangsa mempunyai pengalaman
tentang baik dan buruk, tapi tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa
yang harus dianggap baik dan buruk.
Sebagai ilmu
dan filsafat, etika menghendaki ukuran yang umum, tidak berlaku untuk sebagian
dari manusia, tetapi untuk semua manusia. Apa yang ditemukan oleh etika mungkin
memang menjadi pedoman bagi seseorang, namun tujuan pertama dan utama dari
etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan untuk tahu. Atau, seperti
ungkapan Poedjawijatna (1990:7), "etika mencari dengan kemungkinan untuk
keliru, dan kalau keliru, akan dicari lagi sampai terdapat kebenaran."
Pokok
permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni apa yang disebut
benar dan apa yang disebut salah (logika),
mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang utama filsafat
ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat
keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran
yang semuanya terangkum dalam metafisika;
dan, kedua, politik: yakni kajian
mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal (Suriasumantri, 1994:32).
Berkaitan
dengan sifat yang "ada" maka cabang filsafat yang pertama adalah
filsafat yang menjadikan yang "ada" secara umum sebagai objek
penyelidikannya (Mulkhan, 1994:36). Cabang filsafat selanjutnya adalah filsafat
yang menyelidiki yang "ada" secara khusus, dalam arti kekhususan
sesuatu secara umum.
Begitulah
seterusnya; sifat-sifat khusus yang beragam dari yang "ada"
melahirkan berbagai cabang khusus dari filsafat. Karenanya, cabang-cabang
filsafat dapat dipahami dari kekhususan objeknya yang tersusun secara
hierarkhis dan secara fungsional. Secara hierarkhis, karena sifat-sifat khusus
dari sesuatu yang "ada" tersusun sebagai suatu kesatuan sehingga
membentuk yang "ada" itu sendiri. Selanjutnya, kekhususan yang
"ada" secara fungsional karena kekhususan sesuatu dapat dilihat dari
sudut fungsi dari sifat-sifat khusus yang "ada" tersebut. Secara
keseluruhan bagi struktur maupun fungsi merupakan kesatuan dari apa yang
disebut "ada" tersebut.
Berdasarkan
pandangan teoretis di atas akan dapat dipahami mengenai lahirnya cabang-cabang
filsafat serta aliran-aliran pandangan di dalamnya. Cabang-cabang serta aliran
filsafat yang timbul tidak mengurangi arti yang "ada" sebagai yang
"ada" sebagaimana dirinya sendiri.
Atas dasar
kerangka hierarkhis dan fungsional kekhususan objek filsafat di atas, dapat
dikemukakan berbagai cabang dan aliran dalam filsafat. Kemudian, dapatlah
dipahami bahwa cabang-cabang serta aliran filsafat akan berkembang sesuai
dengan perkembangan pemikiran dan kemampuan akal atau pikir manusia itu
sendiri.
Misalnya, dalam
buku Filsafat Ilmu Abas Hamami
(1996:155-156) membagi filsafat ke dalam dua kelompok bahasan, yaitu filsafat
teoretis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu
yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap
apa yang ada tersebut. Jadi, filsafat teoretis mempertanyakan dan berusaha
mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya manusia, alam, hakikat
realitas sebagai keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita
ketahui, tentang yang transenden, dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat
teoretis pun mempunyai maksud dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
praktis, karena pemahaman yang dicarinya untuk menggerakkan kehidupan.
Etika termasuk
kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu etika umum dan
etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan erat dengan
pelbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah
predikat nilai "susila" dan "tidak susila",
"baik" dan "buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan
kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang
menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila.
Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar
kebenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.
Sementara itu,
Jujun Suriasumantri, selain membagi kajian filsafat ke dalam lima pokok
permasalahan yang menyangkut logika, etika, estetika, metafisika, dan politik,
sebagaimana disinggung di muka, juga menyebutkan bahwa kelima cabang utama ini
kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang
kajian yang lebih spesifik, di antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat
tersebut antara lain mencakup:
(1) Epistemologi
(Filsafat Pengetahuan);
(2) Etika
(Filsafat Moral);
(3) Estetika
(Filsafat Seni);
(4) Metafisika;
(5) Politik
(Filsafat Pemerintahan);
(6) Filsafat
Agama;
(7) Filsafat
Ilmu;
(8) Filsafat
Pendidikan;
(9) Filsafat Hukum;
(10) Filsafat
Sejarah;
(11) Filsafat
Matematika (Suriasumantri, 1994:32-33).
Dari cabang
filsafat lain etika dibedakan oleh karena tidak mempersoalkan keadaan manusia,
melainkan bagaimana ia harus bertindak. Etika adalah filsafat tentang praksis manusia.
Etika adalah praksiologik. Semua cabang filsafat berbicara tentang "yang
ada", sedangkan etika membahas "yang harus dilakukan". Itu
sebabnya etika tidak jarang disebut juga "filsafat praktis" (Bertens,
1993:27). "Praktis", karena menurut Bertens, cabang ini langsung
berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh
dilakukan manusia.
Sifat dasar
etika adalah sifat kritis. Etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang
dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar
itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu. Terhadap norma yang de facto berlaku, etika mengajukan
pertanyaan tentang legitimasinya. (Apakah berlaku de jure pula). Norma yang tidak dapat mempertahankan diri dari
pertanyaan kritis ini akan kehilangan haknya (Zubair, 1990:9-10).
Pemikiran
kritis dari filsafat, menurut Abdul Munir Mulkhan, mempersoalkan segenap
kenyataan yang salah satu di antaranya merupakan objek persoalan ilmu.
Penelitian filsafat adalah penelitian terhadap segala ilmu dan kenyataan serta
proses mengetahui atau memperoleh ilmu. Bagian khusus yang menyelidiki mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ini dikenal dengan epistemologi atau
filsafat ilmu atau bahkan ada yang menyebut dengan metodologi (Mulkhan, 1993:43).
Ilmu itu
sendiri merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi
merupakan misteri (Saefuddin,dkk, 1987:15). Penjelasan ini akan memungkinkan
kita untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi, dan dengan demikian
memungkinkan kita untuk mengontrol gejala tersebut. Untuk itu, ilmu membatasi
ruang jelajah kegiatannya pada daerah pengalaman manusia. Artinya, objek
penelaahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh
pengalaman manusia lewat pancainderanya.
Dalam kaitan
ini, filsafat bukan saja mempunyai pertautan dengan segenap ilmu akan tetapi
bersangkut-paut dengan seluruh ilmu pengetahuan. Selain itu, filsafat merupakan
sumber informasi lengkap mengenai tumbuh-kembangnya suatu pengetahuan yang
bagaimanapun akan senantiasa bersumber pada filsafat. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa filsafat merupakan pendasar atau penelaah ilmu, pengalaman dan
karya manusia, atau pemberi arah, serta pemberi kritik dan kontrol.
Karena itu,
apabila kita sepakat dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah
"induk" segala ilmu pengetahuan, maka metode, objek, dan sistematika
filsafat mempunyai arti fungsional bagi setiap upaya pengembangan ilmu-ilmu
lain. Jadi, atas dasar konsep itu, setiap ilmu lain yang bersifat terapan,
termasuk etika, merupakan pengembangan metode dan sistematika disiplin
filsafat. Atau sebagai pengkhususan dari salah satu perhatian objek analisis
filsafat.
Bahwa
sedemikian besar implikasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu,
barangkali tampak paling jelas, jika kita menginsafi arti perkembangan itu
untuk filsafat dan etika. Perkembangan itu mempunyai arti khusus bagi filsafat,
karena refleksi tentang apa yang dinyatakan ilmu pengetahuan dan teknologi
mengenai hakikat manusia sangat penting untuk menjawab pertanyaan manusia
tentang dirinya sendiri dan tentang arti keberadaannya di dunia. Perkembangan
itu mempunyai arti khusus pula untuk etika, karena seperti dikatakan A.G.M. van
Melsen (1992:130), refleksi filosofis tidak pernah netral, tetapi mengundang
kita untuk mengambil suatu sikap hidup dan mewujudkan kehidupan kita sesuai
dengan apa yang dinyatakan sebagai hakikat manusia.
BAB 3
PENUTUP
3.
3.1 Kesimpulan
Pembahasan tentang
manusia berkembang dari konteks keberadaannya, dan mulai mempertanyakan
bagaimana manusia harus hidup agar hidupnya baik (Filsafat Moral). Sebagai filsafat, etika bertanya
tentang yang harus atau tidak boleh dilakukan, tentang yang baik dan yang buruk
untuk dilakukan manusia.