Kamis, 27 Desember 2012

MENCUCI RAMBUT PASIEN


MENCUCI RAMBUT
A.   TUJUAN
1.     Menghilangkan mikroorganisme kulit kepala
2.    Menambah rasa nyaman
3.    Membasami kutu atau ketombe yang melekat pada kulit
4.    Memperlancar system peredaran bawah kulit

B.    ALAT
1.     Handuk
2.    Perlak pengalas
3.    Perlak sebagai talang/alat pencuci rambut
4.    Ember berisi air hangat
5.    Ember kosong
6.    Shampoo, sisir, kapas
7.    Hair driyer (jika diperlukan)
8.    Tabir
9.    Kapas
10.  Sarung tangan (bersih)

C.    LANGKAH KERJA
1.     Jelaskan prosedur tindakan pada pasien
2.    Menutup ruangan
3.    Mencuci tangan
4.    Memakai sarung tangan
5.    Memberikan posisi yang nyaman bagi pasien dan memudahkan untuk melalukan tindakan
6.    Memasang perlak pengalas di bawah kepala dipinggir tempat tidur pasien
7.    Memasang talang/alat pencuci rambut diarahkan ke ember kosong
8.    Menutup telinga dengan kapas
9.    Memasang handuk pada dada sampai leher
10.  Membahasi rambut dengan air hangat
11.  Mencuci rambut dengan shampoo
12.  Membilas dengan air hangat
13.  Mengeringkan rmabut dengan handuk
14.  Mengangkat perlak pengalas dan talang, lalu masukan dalam ember
15.  Menyisir sambil mengeringkan dg hair dryer atau handuk
16.  Merapikan tempat tidur pasien
17.  Memberi posisi yang nyaman pada pasien
18.  Membereskan alat
19.  Melepas sarung tangan dan mencuci tangan

D.   SIKAP
a.    Ramah
b.    Sopan
c.    Hormat
Menjaga privasi pasien

Rabu, 26 Desember 2012

MENYIAPKANA TEMPAT TIDUR PASIEN


Menyiapkan tempat tidur merupakan prosedur pemenuhan kebutuhan diri dan lingkungan dengan memberikan tempat tidur yang sesuai dengan kebutuhan klien.

Dikatakan
tempat tidur terbuka bila tempat tidur dalam keadaan terbuka atau tidak tertutup dengan sprei besar setelah terpasang sprei, perlak, selimut dan sarung bantal yang tidak ditutup secara keseluruhan oleh sprei besar (Dalam kondisi terbuka).

Tempat tidur tertutup adalah tempat tidur yang setelah dipasang seperangkat alat seperti sprei, perlak, slimut dan sarung abantal kemudian ditutup secara keseluruhan dengan sprei besar sehingga semuanya dalam kondisi tertutup.
Tujuan Tindakan
Pemenuhan kebutuhan ini untuk memberi kenyamanan pada pasien dalam memenuhi kebutuhan dirinya.
Alat dan Bahan
  1. Tempat tidur, kasur dan bantal
  2. Sprei Besar
  3. Sprei Kecil
  4. Sarung Bantal
  5. Perlak
  6. Selimut
Prosedur Kerja
  1. Cuci tangan
  2. Atur tempat tidur, kasur dan bantal
  3. Pasang sprei besar dengan garis tengah lipatan tepat di tengah kasur / tempat tidur, bagian atas sprei dimasukkan dibawah kasur kemudian bagian atasnya
  4. Atur sisi kedua samping seprei atau tempat tidur dengan sudut 900, lalu masukkan kebawah kasur
  5. Pasang perlak di tengah tempat tidur
  6. Pasang sprei kecil di atas perlak
  7. Lipatkan selimut menjadi 4 secara terbalik dan pasang bagian bawah, ujung selimut masukkan kedalam bawah kasur
  8. Pasang sarung bantal
  9. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan

ETIKA SEBAGAI CABANG FILSAFAT


Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kepada Allah SWT. yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang  “Etika Sebagai Filsafah ”ini.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Etika sebagai filsafah yang kami sajikan berdasarkan referensi dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Dalam penyelesaian karya tulis ini penulis banyak mendapat bimbingan, asuhan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penyususn untuk mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada bu(...) . yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritik yang membangun .




Tuban,  Maret 2012



Penulis 


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Setiap masyarakat mengenal nilai-nilai dan norma etis. Dalam masyarakat yang homogen dan tertutup (masyarakat tradisional), norma itu praktis tidak pernah dipersoalkan. Dalam keadaan seperti itu secara otomatis orang menerima nilai dan norma yang berlaku. Individu-individu dalam masyarakat itu tidak berpikir lebih jauh.Tapi nilai-nilai dan norma-norma etis yang dalam masyarakat tradisional umumnya tinggal implicit saja, setiap saat bisa menjadi eksplisit. Terutama bila nilai-nilai dan norma-norma itu ditantang atau dilanggar karena perkembangan baru, kita melihat bahwa nilai atau norma yang tadinya terpendam dalam hidup rutin, dengan agak mendadak tampil dipermukaan.
Bila seorang muda menjadi mahasiswa dan arena itu untuk pertama kali dalam hidupnya keluar dari naungan keluarga serta ketertutupan daerahnya, ia dapat merasakan perbedaan itu. Perbedaan bisa dirasakan lebih tajam lagi, bila perpindahan itu bukan saja dari satu daerah ke daerah lain tapi sekaligus juga dari daerah pedesaan ke kota besar. Apalagi, bila seorang muda disekolahkan ke luar negeri.Bisa sampai terkena cultural shock.

  
BAB 2
ISI

2.1. Pengertian Etika
Secara etimologis ‘ethos’(yunani) = adapt kebiasaan; cara bertindak.Sebagai ilmu : Refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia.
Sifat fisiologisnya : Melampaui data daktual. Bertanya tentang yang harus dan tidak boleh, yang baik dan yang buruk.
            Etika dibagi menjadi 2, yakni:
2.1.1.      Etika deskriptif
2.1.2.      Etika normative
·         Etika umum : prinsip mral dasar
·         Etika khusus : etika terapan

2.2.Etika Sebagai Falsafah
Pada dasarnya, etika merupakan cabang filsafat yang mengenakan refleksi serta metode pada tugas manusia dalam upaya menggali nilai-nilai moral atau menerjemahkan berbagai nilai itu ke dalam norma-norma dan menerapkannya pada situasi kehidupan konkret.
Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia.
Dalam arti etis, baik dan buruk ini memainkan peranan dalam hidup setiap manusia. Tak hanya sebatas kini, tapi juga di masa lampau. Bertens (1993:12), misalnya, menyebutkan, ilmu-ilmu seperti antropologi budaya dan sejarah memberitahukan kita bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Akan tetapi, lanjut Bertens, segera perlu ditambah bahwa tidak semua bangsa dan tidak semua zaman mempunyai pengertian yang sama tentang baik dan buruk. Ada bangsa atau kelompok sosial yang mengenal "tabu", sesuatu yang dilarang keras (misalnya, membunuh binatang tertentu), sedangkan pada bangsa atau kelompok sosial lainnya perbuatan-perbuatan yang sama tidak terkena larangan apa pun. Dan sebaliknya, ada hal-hal yang di zaman dulu sering dipraktekkan dan dianggap biasa saja, tapi akan ditolak sebagai tidak etis oleh hampir semua bangsa beradab sekarang ini. Sebagai contoh dapat disebut: kolonialisme, perbudakan, dan diskriminasi terhadap wanita. Jadi, semua bangsa mempunyai pengalaman tentang baik dan buruk, tapi tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik dan buruk.
Sebagai ilmu dan filsafat, etika menghendaki ukuran yang umum, tidak berlaku untuk sebagian dari manusia, tetapi untuk semua manusia. Apa yang ditemukan oleh etika mungkin memang menjadi pedoman bagi seseorang, namun tujuan pertama dan utama dari etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan untuk tahu. Atau, seperti ungkapan Poedjawijatna (1990:7), "etika mencari dengan kemungkinan untuk keliru, dan kalau keliru, akan dicari lagi sampai terdapat kebenaran."
Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi, yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan, kedua, politik: yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal (Suriasumantri, 1994:32).
Berkaitan dengan sifat yang "ada" maka cabang filsafat yang pertama adalah filsafat yang menjadikan yang "ada" secara umum sebagai objek penyelidikannya (Mulkhan, 1994:36). Cabang filsafat selanjutnya adalah filsafat yang menyelidiki yang "ada" secara khusus, dalam arti kekhususan sesuatu secara umum.
Begitulah seterusnya; sifat-sifat khusus yang beragam dari yang "ada" melahirkan berbagai cabang khusus dari filsafat. Karenanya, cabang-cabang filsafat dapat dipahami dari kekhususan objeknya yang tersusun secara hierarkhis dan secara fungsional. Secara hierarkhis, karena sifat-sifat khusus dari sesuatu yang "ada" tersusun sebagai suatu kesatuan sehingga membentuk yang "ada" itu sendiri. Selanjutnya, kekhususan yang "ada" secara fungsional karena kekhususan sesuatu dapat dilihat dari sudut fungsi dari sifat-sifat khusus yang "ada" tersebut. Secara keseluruhan bagi struktur maupun fungsi merupakan kesatuan dari apa yang disebut "ada" tersebut.
Berdasarkan pandangan teoretis di atas akan dapat dipahami mengenai lahirnya cabang-cabang filsafat serta aliran-aliran pandangan di dalamnya. Cabang-cabang serta aliran filsafat yang timbul tidak mengurangi arti yang "ada" sebagai yang "ada" sebagaimana dirinya sendiri.
Atas dasar kerangka hierarkhis dan fungsional kekhususan objek filsafat di atas, dapat dikemukakan berbagai cabang dan aliran dalam filsafat. Kemudian, dapatlah dipahami bahwa cabang-cabang serta aliran filsafat akan berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kemampuan akal atau pikir manusia itu sendiri.
Misalnya, dalam buku Filsafat Ilmu Abas Hamami (1996:155-156) membagi filsafat ke dalam dua kelompok bahasan, yaitu filsafat teoretis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi, filsafat teoretis mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya manusia, alam, hakikat realitas sebagai keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui, tentang yang transenden, dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoretis pun mempunyai maksud dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pema­haman yang dicarinya untuk menggerakkan kehidupan.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika berkaitan erat dengan pelbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah predikat nilai "susila" dan "tidak susila", "baik" dan "buruk". Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar kebenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.
Sementara itu, Jujun Suriasumantri, selain membagi kajian filsafat ke dalam lima pokok permasalahan yang menyangkut logika, etika, estetika, metafisika, dan politik, sebagaimana disinggung di muka, juga menyebutkan bahwa kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik, di antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup:
(1) Epistemologi (Filsafat Pengetahuan);
(2) Etika (Filsafat Moral);
(3) Estetika (Filsafat Seni);
(4) Metafisika;
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan);
(6) Filsafat Agama;
(7) Filsafat Ilmu;
(8) Filsafat Pendidikan;
(9) Filsafat Hukum;
(10) Filsafat Sejarah;
(11) Filsafat Matematika (Suriasumantri, 1994:32-33).

Dari cabang filsafat lain etika dibedakan oleh karena tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana ia harus ber­tindak. Etika adalah filsafat tentang praksis manusia. Etika adalah praksiologik. Semua cabang filsafat berbicara tentang "yang ada", sedangkan etika membahas "yang harus dilakukan". Itu sebabnya etika tidak jarang disebut juga "filsafat praktis" (Bertens, 1993:27). "Praktis", karena menurut Bertens, cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
Sifat dasar etika adalah sifat kritis. Etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu. Terhadap norma yang de facto berlaku, etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya. (Apakah berlaku de jure pula). Norma yang tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis ini akan kehilangan haknya (Zubair, 1990:9-10).
Pemikiran kritis dari filsafat, menurut Abdul Munir Mulkhan, mempersoalkan segenap kenyataan yang salah satu di antaranya merupakan objek persoalan ilmu. Penelitian filsafat adalah pene­litian terhadap segala ilmu dan kenyataan serta proses mengetahui atau memperoleh ilmu. Bagian khusus yang menyelidiki mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ini dikenal dengan epistemolo­gi atau filsafat ilmu atau bahkan ada yang menyebut dengan meto­dologi (Mulkhan, 1993:43).
Ilmu itu sendiri merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri (Saefuddin,dkk, 1987:15). Penjelasan ini akan memungkinkan kita untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi, dan dengan demikian memungkinkan kita untuk mengontrol gejala terse­but. Untuk itu, ilmu membatasi ruang jelajah kegiatannya pada daerah pengalaman manusia. Artinya, objek penelaahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat pancainderanya.
Dalam kaitan ini, filsafat bukan saja mempunyai pertautan dengan segenap ilmu akan tetapi bersangkut-paut dengan seluruh ilmu pengetahuan. Selain itu, filsafat merupakan sumber informasi lengkap mengenai tumbuh-kembangnya suatu pengetahuan yang bagaimanapun akan senantiasa bersumber pada filsafat. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa filsafat merupakan pendasar atau penelaah ilmu, pengalaman dan karya manusia, atau pemberi arah, serta pemberi kritik dan kontrol.
Karena itu, apabila kita sepakat dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah "induk" segala ilmu pengetahuan, maka metode, objek, dan sistematika filsafat mempunyai arti fungsional bagi setiap upaya pengembangan ilmu-ilmu lain. Jadi, atas dasar konsep itu, setiap ilmu lain yang bersifat terapan, termasuk etika, merupakan pengembangan metode dan sistematika disiplin filsafat. Atau sebagai pengkhususan dari salah satu perhatian objek analisis filsafat.
Bahwa sedemikian besar implikasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, barangkali tampak paling jelas, jika kita menginsafi arti perkembangan itu untuk filsafat dan etika. Perkembangan itu mempunyai arti khusus bagi filsafat, karena refleksi tentang apa yang dinyatakan ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai hakikat manusia sangat penting untuk menjawab pertanyaan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang arti keberadaannya di dunia. Perkembangan itu mempunyai arti khusus pula untuk etika, karena seperti dikatakan A.G.M. van Melsen (1992:130), refleksi filosofis tidak pernah netral, tetapi men­gundang kita untuk mengambil suatu sikap hidup dan mewujudkan kehidupan kita sesuai dengan apa yang dinyatakan sebagai hakikat manusia.

BAB 3
PENUTUP
3.1   Kesimpulan
Pembahasan tentang manusia berkembang dari konteks keberadaannya, dan mulai mempertanyakan bagaimana manusia harus hidup agar hidupnya baik (Filsafat Moral). Sebagai filsafat, etika bertanya tentang yang harus atau tidak boleh dilakukan, tentang yang baik dan yang buruk untuk dilakukan manusia.